Khadijah & Aisyah: Wajah Muslimah Revolusioner

gambar desain I Love Muhammad

Bagaimana biografi dua istri Nabi Muhammad, Khadijah dan 'Aisyah, menunjukkan peran wanita Islam yang revolusioner?

Khadijah dan 'Aisyah itu mungkin tidak terlihat revolusioner, tetapi kalau kita melihatnya kembali dengan kacamata feminisme abad ke-20, mereka tampak memiliki nilai-nilai revolusioner.

Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Pendidikan Moral Warga Dunia » Seksualitas & Kedokteran Islami » Peran Istri Nabi Muhammad » Khadijah & Aisyah: Wajah Muslimah Revolusioner.

Khadijah & Aisyah: Muslimah Revolusioner

Diterjemahkan dari tesis Farid Muttaqin, Progressive Muslim Feminists in Indonesia from Pioneering to the Next Agendas, (Center for International Studies of Ohio University, 2008), p. 33-40 | Hak cipta terjemahan Indonesia © 2014 Tiga Idiot

Biografi dua istri Nabi Muhammad, Khadijah dan 'Aisyah, menunjukkan peran wanita-wanita tangguh dalam pondasi Islam. Khadijah mewakili konsepsi revolusioner peran rumahtangga perempuan, sedangkan 'Aisyah mewakili konsepsi revolusioner peran publik wanita. Biasanya, istilah revolusioner diasosiasikan dengan perang, politik, dan pengetahuan atau produk hukum. Namun, wanita revolusioner dalam masyarakat Islam bukan hanya perempuan yang mengambil peran publik, melainkan juga yang bekerja di ranah rumahtangga sebagai ibu dan istri. Khadijah dan 'Aisyah itu mungkin tidak terlihat revolusioner, tetapi kalau kita melihatnya kembali dengan kacamata feminisme abad ke-20, mereka tampak memiliki nilai-nilai revolusioner.

Khadijah: Revolusioner di Ranah Rumahtangga

Khadijah lahir di Makkah. Ia putri al-Khuwaylid bin ‘Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qusayy. Garis nasabnya bertemu dengan garis Muhammad karena Muhammad merupakan putra Abdullah bin ‘Abd al-Muthalib bin Hashim bin ‘Abd Manaf bin Qusayy. Khadijah berasal dari tradisi dagang. Sukunya, Quraisy, merupakan salah satu dari suku terbesar di masyarakat Arab, dan Khadijah merupakah salah seorang dari pedagang yang paling sukses pada saat itu.

Khadijah (555-619 M.) merupakan istri pertama Nabi Muhammad. Mereka menikah pada sekitar tahun 595. Sebagian besar sejarahwan, terutama yang berasal dari tradisi Sunni, mencatat bahwa Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun ketika mereka menikah. Mereka mengatakan bahwa sebelum pernikahannya dengan Muhammad, Khadijah pernah menikah dengan dua orang pria: Hala al-Taminia and Otayyik. Namun, sejarahwan Syiah menyatakan bahwa Khadijah menikah hanya dengan Muhammad. Mereka pun mengatakan bahwa ia hanya beberapa tahun lebih tua daripada Muhammad, bukan 40. Contohnya, Razwy, seorang sejarahwan Syiah, mengatakan, "Angka 40 itu hanyalah perkiraan, dan ini merupakan perkiraan yang berlebihan. Walau benar bahwa Khadijah lebih tua daripada Muhammad, ia tidak 15 tahun lebih tua sebagaimana yang diklaim oleh hampir semua sejarahwan, tetapi hanya beberapa tahun lebih tua daripada beliau."

Fakta terpenting mengenai Khadijah adalah bahwa ia wanita kelas-atas di kalangan Quraisy. Lantas, mengapa ia ingin menikah dengan Muhammad? Dalam sudut pandang saya, hasrat Khadijah untuk menikah dengan Muhammad dipengaruhi oleh wacana seksualitas pada masyarakat Arab ketika itu. Pada waktu itu, lazim bagi para wanita untuk dengan bebas mengungkap minat seksual mereka, dan mereka mengendalikan hubungan seksual mereka dengan para pria. Dalam konteks ini, hubungan perkawinan pun merupakan salah satu [urusan] yang di dalamnya para wanita memainkan peran dominan. Bukti untuk peran wanita dalam memulai hubungan-hubungan seksual itu datang dari syair-syair yang ditulis oleh perempuan-perempuan Arab di sekitar masa itu yang mengungkap minat mereka terhadap seksualitas secara agak vulgar dan "terbuka". Bukti ini bertentangan dengan gambaran ulama tradisional bahwa wanita itu pasif, tertutup, dan tidak agresif.

Selain itu, konon masyarakat Arab lebih matrilineal pada waktu Khadijah hidup. Seorang wanita bisa memiliki hubungan-hubungan seksual dengan sejumlah pria, dan ia bertanggung jawab untuk mengasuh dan menafkahi bayi-bayi hasil dari hubungan-hubungan seksualnya. Dalam tradisi ini, wanita bisa "memimpin" dalam melamar dan meminta pria untuk menikahinya.

Watt menyatakan bahwa basis struktur kekeluargaan itu beralih dari matrilineal ke patrilineal sesudah Perang Uhud, 23 Maret 625. Perang ini menuntut banyak muslim pengikut Nabi untuk tinggal dalam komunitas kecil dan menghasilkan banyak yatim dan janda. Dalam konteks ini, Allah mewahyukan ayat poligami dalam Al-Qur'an, surat al-Nisa' [4]: 3-4. Namun, mayoritas pria muslim menafsirkan ayat ini untuk mendukung minat mereka pada poligami dan nilai-nilai patriarki. Peralihan struktur keluarga dari matrilineal ke patrilineal ini mengokohkan pandangan patriarkis dalam masyarakat Islam.

Meskipun lazim di kalangan wanita pada masa itu untuk dengan bebas mengungkap hasrat seksual mereka, Khadijah itu revolusioner karena ia memilih Muhammad yang tidak punya posisi berkuasa di masyarakat. Armstrong menyatakan bahwa pada waktu itu, Muhammad merupakan "sosok yang relatif tidak terkenal, dan tak seorang pun yang menganggap layak untuk memperhatikan kegiatannya". Posisi-posisi sosial, ekonomi, dan politik merupakan faktor-faktor kunci dalam menegakkan kemuliaan pria.

Dalam memilih Muhammad sebagai suaminya, Khadijah menunjukkan kebebasannya yang sangat besar dalam memilih. Ia pun menunjukkan kemampuannya untuk mandiri dari pengaruh pandangan dominan di masyarakatnya. Daripada mengacu pada status sosial, ekonomi, dan politik sebagai landasan untuk melamar Muhammad, Khadijah menilai sifat pribadinya. Sifat Muhammad yang jujur, mampu menjaga amanat, dan berakhlak mulia mengesankan Khadijah. Sebagaimana paparan Razwy, "Kinerja Muhammad yang efisien dan kecakapan bisnis beliau yang hebat ketika beliau bekerja di perusahaan dagang Khadijah sebenarnya merupakan salah satu dari alasan-alasan utama mengapa Khadijah terpikat pada beliau." Beliau dikenal sebagai orang yang terpercaya (al-Amin), sebuah pengakuan akan kepribadian beliau yang terpercaya. Watak kepribadian altruistik Muhammad itu berbeda dari perilaku orang Arab pada umumnya.

Pilihan Khadijah itu revolusioner karena penilaian watak kepribadian batiniah sebagai alasan untuk mengembangkan hubungan pernikahan itu tidak populer bagi seorang kelas-atas, wanita Arab kaya-raya, pada masa tersebut. Selain itu, walau struktur kekeluargaannya matrilineal, pandangan-pandangan patriarkal mendominasi hubungan-hubungan yang lebih luas, yaitu sosial, politik, dan ekonomi. Umpamanya, seorang ayah bahkan bisa membunuh putrinya dalam rangka menjaga kehormatan keluarga sebagaimana dapat kita saksikan dari kisah 'Umar bin Khatthab sebelum ia masuk Islam.

Tindakan revolusioner kedua dari Khadijah adalah bahwa ia merupakan orang pertama yang masuk Islam sesudah Nabi Muhammad. Lagi-lagi, ia melawan arus kepercayaan umum masyarakat Arab. Sesungguhnya, sangatlah sulit untuk menjadi orang pertama yang beriman. Khadijah harus menghadapi ancaman-ancaman dari para anggota masyarakat. Kepercayaan barunya tidak hanya bertentangan dengan kepercayaan tradisional, tetapi juga menantang aturan politik dan ekonomi. Di bawah ajaran Islam, keuntungan politik, sosial, dan ekonomi itu bermanfaat hanya bila mereka berdedikasi demi keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan diantara orang-orang. Hal ini secara langsung menantang posisi-posisi anggota masyarakat yang berkuasa dan memicu kemarahan mereka terhadap siapa pun yang berusaha menyiarkan kepercayaan Islam.

Hal signifikan ketiga mengenai Khadijah adalah bahwa selama 25 tahun perkawinannya dengan Muhammad, ia merupakan satu-satunya istri, dan beliau tetap menduda selama tiga tahun selepas kematian Khadijah. Wafatnya Khadijah menyebabkan bencana besar dalam kehidupan Muhammad dan dikenal sebagai tahun duka (‘am al-huzn).

Selama hidup bersama dengan Muhammad, Khadijah memiliki pengaruh besar dan dahsyat terhadap beliau. Bukti betapa pentingnya Khadijah bagi stabilitas psikologis Muhammad tampak ketika Muhammad menerima wahyu pertama. Konon Muhammad sangat ketakutan dan sakit selama beberapa hari. Pada waktu itu, Khadijah dengan lembut merawat Muhammad dan mendukung beliau. Ia menghibur beliau ketika beliau mengkhawatirkan apa yang akan terjadi kalau orang-orang Quraisy tahu tentang peristiwa pewahyuan itu. Bahkan, ia meyakinkan Muhammad untuk percaya diri, dan ia pun menyatakan dirinya sendiri pengikut kepercayaan Muhammad (mu'minah).

Selain itu, Khadijah memberi dukungan finansial yang kuat kepada Muhammad dan gerakan dakwah beliau. Ia tidak peduli bahwa sumbangannya bisa memicu kemarahan kaum Quraisy. Dalam keadaan-keadaan begini, Muhammad menolak poligami walau diizinkan dalam masyarakatnya. Dalam perannya selaku istri Nabi Muhammad, Khadijah mempertahankan hubungan tatapmuka dengan posisi yang setara dengan suaminya. Ia bisa saja dikatakan sadar bahwa rumahtangganya juga bersifat politis. Dalam perspektif feminis, hal ini terungkap dalam semboyan, "yang personal itu bersifat politis". Menurut konsep ini, hubungan biasa dalam kehidupan sehari-hari itu merupakan bagian yang signifikan dari politik dalam hal memperkuat posisi tawar wanita terhadap pria atau pun terhadap kekuasaan-kekuasaan patriarki. Dengan jalan ini, Khadijah menyediakan model inspirasi untuk pemberdayaan perempuan di alam rumahtangga.

'Aisyah: Partisipasi Wanita dalam Peran Publik

'Aisyah, kelahiran Makkah pada sekitar tahun 614 M., merupakan putri dari salah seorang sahabat terdekat Muhammad, Abdullah bin Abi Quhafah, yang biasanya dikenal sebagai Abu Bakar al-Shiddiq. Ia menikah dengan Muhammad ketika berusia enam (atau tujuh) tahun dan mulai tinggal serumah dengan beliau ketika berumur sembilan tahun. Pada waktu itu, usia Nabi sekitar 50 tahun. Nabi menikahi 'Aisyah tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah; mereka mulai berumahtangga sebagai suami-istri pada kira-kira bulan Mei-Juni 623 M. Pernikahan ini menggemparkan banyak cendekiawan Barat. Dalam pandangan saya, tidaklah tepat memandang praktek-praktek yang lazim pada masa Nabi melalui kacamata standar masa kini. Selain itu, menurut Razwy, "Arabia merupakan negeri yang sangat panas, dan gadis-gadis Arab mencapai kedewasaan dengan jauh lebih cepat daripada gadis-gadis di negeri yang beriklim dingin."

Tidak seperti Khadijah, 'Aisyah memainkan peran yang lebih publik selama perkawinannya dengan Muhammad. 'Aisyah memandang dirinya sendiri memiliki posisi dan kemampuan yang setara dengan pria-pria muslim. Prestasi terbesarnya adalah menjadi salah seorang dari periwayat hadits yang paling kredibel (dibahas di bawah). Dalam beberapa hal, kemampuan intelektual 'Aisyah mengungguli kemampuan mayoritas pria muslim. Nabi mengakui posisi intelektual 'Aisyah. Beliau bersabda, "Jangan menggangguku mengenai 'Aisyah. Dialah satu-satunya istriku yang di dalam rumahnya aku menerima wahyu." Bahkan, Nabi sendiri tak pernah terdengar mengucapkan pembatasan terhadap keterlibatan 'Aisyah di segala bidang ilmu [agama] Islam.

Penghargaan Nabi kepada 'Aisyah tampak dalam insiden yang tercatat dalam Al-Qur'an. Ketika Nabi dan para sahabat beliau kembali dari pertempuran melawan Mustaliq, 'Aisyah yang menyertai beliau ternyata terpisah dari kelompoknya. Setelah beberapa waktu, ia ditemukan oleh Shafwan bin Mu’aththal, salah seorang sahabat Nabi, yang membawa dia ke tempat peristirahatan Nabi. Insiden ini meniupkan kasak-kusuk. Inilah yang menyebabkan turunnya wahyu dalam Al-Qur'an: Tuhan berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu dari golongan kamu juga..." (Surat al-Nur [24]: 11), yang dipandang sebagai kemarahan terhadap orang-orang yang memfitnah 'Aisyah. Menurut Asad, "peristiwa bersejarah ini terutama dimaksudkan untuk membawa pandangan etis yang sah untuk segala waktu dan semua keadaan sosial."

Menurut Spellberg, pernikahan 'Aisyah dengan Nabi itu penting secara politik bagi Nabi dan bapaknya, Abu Bakar. Perkawinan ini menegaskan ikatan antara dua pria kuat dalam sebuah hubungan keluarga. 'Aisyah menyadari kepentingan politik perkawinannya dan menggunakannya ketika berkonfrontasi dengan sahabat-sahabat nabi. Perannya dalam memimpin oposisi terhadap 'Ali bin Abi Thalib, salah seorang sahabat terdekat Nabi, dalam Perang Unta, menunjukkan bahwa 'Ali mempercayai kuatnya posisi 'Aisyah sebagai hasil dari pernikahannya dengan Nabi.

Perang Unta, sebagai perang saudara di antara sesama muslim, merupakan salah satu dari peristiwa paling berdarah dalam sejarah Islam dan menginspirasi konflik-konflik besar lainnya. Walau pria-pria sahabat Nabi juga terlibat, seperti 'Ali bin Abi Thalib, 'Aisyah disalahkan. Karena itu, otoritas-otoritas pria muslim membatasi partisipasi wanita dalam politik. Namun bagaimanapun, 'Aisyah menunjukkan bahwa wanita dapat memainkan peran sebagai pemimpin politik.***

8 komentar:

  1. apa bisa diartikan sebelum pra islam wanita pada saat itu menjajah pria. dan apakah benar laki2 sebelum adanya islam merasa terhina di jajah wanita? sampai2 terjadi pembunuhan terhadap wanita yg msh bocah seperti kasus umar bin khotob.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Arab pra Islam itu disebut jahiliyah....untuk itulah Muhammad diutus untuk memperbaiki 'akhlak' bobrok kaum jahiliyah....

      Hapus
    2. Artikel tsb bukan tentang Arab pra-Islam, melainkan tentang istri Nabi.

      Hapus
  2. mf. pak musa bgmna dg ayat arrijalu qowamuna alan nisa' yg sering di buat dalil utk memojokkan wanita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena merupakan matakuliah sejarah, di sini kita membatasi pembicaraan pada segi historis saja. Masalah penafsiran ayat itu persoalan lain. Secara historis, sudah jelas bahwa Aisyah pernah menjadi pemimpin politik. Pernah pula wanita menjadi pemimpin tertinggi kesultanan Islam. http://derysmono.blogspot.com/2012/06/prof-dr-hamka-menjawab-hukum-wanita.html

      Hapus
  3. bagaimana mengenai pendapat yg mengatakan khadijah awalnya beragama kristen?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak kita temukan bukti-langsung tentang apa agama Khadijah sebelum Islam. Dari bukti2 tak-langsung, dua kemungkinan terbesarnya adalah beragama hanif (mengikuti agama Ibrahim seperti Muhammad) atau beragama Kristen "unitarian" (seperti saudaranya, Waraqah bin Naufal).

      Hapus
  4. Yang aku tangkap dari tautan di atas adl bagaimana kadhijah dan aisyah berpengaruh dlm islam yang tidak banyak di ketahui kalayak umum.
    Bahkan ada sebagian yang tidak saya ketahui terpaparkan disini.
    Apa pun itu ada banyak sumber yang perlu di gali .tidak untuk mendebat tetapi sebagai rujukan ttg "revolusioner" yg di maksud.scr kita tidak menjadi saksi langsung dlm sejarah .(jean van der di sini)

    BalasHapus