Masyarakat menutup mata terhadap seks di luar nikah. Pendidikan seks tidak diajarkan di sekolah dengan alasan bahwa para siswa tidak membutuhkannya sampai mereka menikah pada umur 20-an.
Karena itu, para remaja Indonesia memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang seks.
Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Pendidikan Moral Warga Dunia » Seksualitas & Kedokteran dalam Tradisi Islam » Seks di Indonesia kini = Amerika 1950-an.
Beginikah Pendidikan Seks Kita?
Mari Belajar tentang Seks
Diterjemahkan secara bebas dari artikel Tabitha Kidwell (dosen tamu di STAIN Salatiga, Pendidikan Bahasa Inggris), "Lets (not) talk about sex, baby" | Hak Cipta Terjemah Indonesia © 2013 Tiga Idiot
Pagi ini, salah satu kelompok dari matakuliah Reading Text yang saya ampu menghadirkan sebuah pertunjukan wayang tentang sepotong artikel yang mereka baca. Topiknya ialah Rob Portman, senator dari Ohio yang melontarkan pendapatnya tentang perkawinan gay.... Tanpa kontroversi perkawinan gay, para mahasiswa Indonesia takkan pernah mengenal nama pria ini.
Beberapa kelompok memilih artikel ini untuk dibaca, dan reaksi mereka yang tersaji dalam makalah mereka sangat menarik. Saya menulis komentar pada hampir semua makalah mereka (Saya sepakat! Menarik sekali! Menurut Anda, apakah ini akan terjadi di masa depan? dsb), tetapi saya menghindari berkomentar terhadap makalah-makalah tentang pernikahan homoseksual atau hak asasi gay.
Selaku dosen tamu di sebuah sekolah tinggi agama Islam, saya sungguh tidak yakin bagaimana memberi penilaian tentang itu. Hampir semua mahasiswa saya mengatakan hal-hal seperti "Saya muslim, jadi saya tidak mendukung perkawinan gay." Sebagian mengatakan hal-hal yang tercerahkan seperti "Saya tidak setuju, tetapi saya mengerti bahwa perkawinan merupakan hak asasi bagi semua orang," namun tampaknya tidak banyak yang berpikiran begitu.
Dalam hal hubungan asmara, Indonesia saat ini kelihatannya seperti Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Masyarakat menutup mata terhadap seks di luar nikah. Pendidikan seks tidak diajarkan di sekolah dengan alasan bahwa para siswa tidak membutuhkannya sampai mereka menikah pada umur 20-an. Karena itu, para remaja Indonesia memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang seks. Kondom-kondom tersedia di berbagai minimarket, tetapi banyak remaja (bahkan anak seusia 12 tahun!) menikah "karena kecelakaan".
Begitu pula tentang hubungan homoseksual; para mahasiswa saya kebanyakan menyangka, "Tidak ada [budaya] gay di Indonesia". Mungkin karena mereka yakin sekali akan orientasi seksual setiap orang, para pria [dan apalagi wanita] sangat leluasa memperlihatkan keakraban jasmaniah satu sama lain. Tidaklah aneh melihat dua pria berjalan-jalan dengan bergandengan tangan, atau pun seorang cowok remaja yang berbaring di atas paha teman lelakinya.
Para pria pun leluasa mengenakan busana wanita. Di Yogya, ibukota budaya Jawa, ada tradisi busana lintaskelamin [seperti itu]. Tadinya saya mengira ini merupakan bukti atas toleransi terhadap homoseksualitas, sampai saya diberitahu asal-usul sejarahnya bahwa [dulu] para wanita dilarang tampil di depan umum. Jadi, ini lebih merupakan bukti tertutupnya benak mereka. Di luar dugaan!
Ketika [sekarang] Amerika berdebat tentang perkawinan sesama jenis kelamin, Indonesia memperdebatkan keabsahan penggerebekan di hotel-hotel untuk menangkap pasangan-pasangan di luar nikah. Kedua negeri ini mungkin beberapa puluh tahun terpisah secara ideologis, tetapi masih ada kecenderungan yang sama bagi pemerintah untuk memutuskan siapa boleh mencintai siapa dan dalam keadaan bagaimana. Saya akan tetap berada di luar perdebatan ini selain mengatakan bahwa kedua negeri ini akan lebih baik tanpa campur tangan pemerintah terhadap urusan ranjang para warga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar