Pemerintahan yang bagaimanakah yang sah?
Legitimasi pemerintahan itu berada di mata rakyatnya, tak peduli betapa brutal, nista, atau pun korup sang penguasa. Pandangan orang luar tentang presiden Mesir atau Indonesia yang sedang memerintah, misalnya, tidaklah relevan.
Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Pendidikan Moral Warga Dunia » Politik Komparatif » Model Sistem Politik Otoriter » Legitimasi Pemerintahan Otoriter Mesir, Indonesia, dll.
Legitimasi Pemerintahan Otoriter
Diterjemahkan dari Thomas M. Magstadt, Understanding Politics 10th Ed. (Wadsworth, 2013), p. 107 | Hak cipta terjemahan Indonesia © 2013 Tiga Idiot
Di Amerika Serikat, kita setuju dengan John Locke bahwa legitimasi timbul dari izin orang-orang yang diatur. Namun, izin itu bukanlah satu-satunya ukuran legitimasi--pada kenyataannya, selama periode-periode yang lama dalam sejarah, popularitas itu tidak dianggap sebagai salah satu kriteria legitimasi.
Alih-alih, sejak akhir Abad Pertengahan melalui abad ke-18, bentuk lazim pemerintahan di Eropa adalah monarki (kerajaan), berdasarkan hak ilahi yang dianugerahkan melalui agama atau berdasrakan keturunan kerajaan yang dianugerahkan melalui warisan biologis. Di Kekaisaran China, prinsip dinastik merupakan salah satu sumber legitimasi kaisar, tetapi agama juga memainkan peran besar; kaisar China memerintah di bawah "mandat Langit".
Banyak diktator kontemporer itu berlandaskan sumber legitimasi yang agak lebih informal dan personal--dayapikat populer pemimpin kharismatik. Seringkali pemerintahan kharismatik itu berlandaskan dayatarik pribadi, keterampilan berpidato, atau pun prestasi pahlawan legendaris yang telah memimpin negerinya menuju kemenangan dalam peperangan atau revolusi. Contoh-contoh pasca-Perang Dunia II meliputi Nasser sang presiden Mesir (1956-1970) dan Sukarno sang presiden Indonesia (1945-1967). Banyak dikatator Dunia Ketiga pascakolonial naik kekuasaan sebagai "pembebas" yang memimpin perjuangan kemerdekaan dan muncul sebagai obyek pemujaan kepahlawanan.
Kemudian, kharisma, tradisi, dan sanksi ilahi merupakan pilar-pilar historis pemerintah otokratis. Lebih sering daripada tidak, sumber-sumber legitimasi ini secara efektif menjual ide bahwa pemerintah memiliki hak untuk memerintah tanpa berkonsultasi dengan rakyat. Tentu saja, memiliki hak untuk memerintah itu bukan berarti niscaya memerintah dengan tepat. Dan sayangnya, pemerintahan otoriter terlalu sering menggunakan "hak" ini untuk melakukan kezaliman serius.
Namun sebagaimana kecantikan, legitimasi itu berada di mata orang-orang di hadapannya. Jika rakyat merangkul otokrat atau diktator, tak peduli betapa brutal, nista, atau pun korup sang penguasa, maka ia mendapat legitimasi. Pandangan orang luar tentang presiden Mesir atau Indonesia yang sedang memerintah, misalnya, tidaklah relevan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar