Grafiti (corat-coret di dinding) telah menjadi tradisi kontemporer perkotaan di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Tanggapannya berlainan. Ada yang memeranginya, tapi ada pula yang memfasilitasinya. Untuk contoh, bandingkan kota Jogja (Yogyakarta) dengan Bonn (Jerman). Mana lebih etis?
Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Ilmu Pengetahuan Umum » Panduan Menulis untuk Belajar, Berbagi, Beraksi » Penulisan Masa Kini » Grafiti: Etiskah Mencoreti Dinding?
Etika Menulis Grafiti
Disadur dari buku kuliah John Trimbur, Call to Write 6th Ed. (Cengage Learning: 2014), chapter 1, "What Is Writing Today?", p. 6 | Hak cipta saduran Indonesia © 2014 Tiga Idiot
Grafiti telah menjadi tradisi khas kehidupan perkotaan kontemporer. Dengan cat semprot atau yang lain, yang menempel di dinding, grafiti dapat menampilkan berbagai fungsi. Diantaranya: menandai wilayah gang, menyampaikan pesan politik, mengungkap identitas sang penulis, mengungkap dukacinta lantaran seseorang terbunuh atau marah kepada musuh, dan lain-lain.
Reaksi terhadap grafiti itu sangat berlainan. Sebagian memandangnya sebagai kejahatan--aksi vandalisme yang antisosial, sedangkan lainnya memandangnya sebagai sebentuk ekspresi seni dan pernyataan politik sang komunikator. (Silakan klik gambar di atas ini & di bawah ini.)
Bila ditinjau dari etika, persoalan apakah yang dapat diangkat menurut Anda? Apakah Anda menganggap grafiti itu sejenis penulisan yang sah kendati ilegal? Mengapa (atau mengapa tidak)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar