Ganyang Pembajak Maya di Internet

gambar foto rumah Pembajak Maya di Internet

Walau tak sepenuhnya bisa lenyapkan pembajakan, kita dapat memutuskan apakah mau serius ataukah tidak. Seriuskah kita?

Kurang serius. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghentian Pembajakan Online dan RUU Perlindungan Hak Milik Intelektual malah ditangguhkan, entah sampai kapan.

Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Manajemen Bisnis Media Internet » Ganyang Pembajak Maya di Internet.

Danny Goldberg memulai karirnya sebagai wartawan musik, menulis untuk Rolling Stone, Billboard, dan Village Voice. Ia juga menulis beberapa buku, termasuk How the Left Lost Teen Spirit dan Bumping into Geniuses: My Life inside the Rock and Roll Business. Dialah presiden Village Entertainment, yang mengelola artis-artis musik dan menjadikan karya mereka tersedia bagi publik melalui internet. Goldberg telah menjadi presiden beberapa perusahaan musik lainnya. Selama karirnya, perusahaan-perusahaannya mengelola klien-klien seperti Nirvana, Bonnie Raitt, Hole, Sonic Youth, The Allman Brothers, Rickie Lee Jones, Allanah Myles, Tom Cochrane, dan the Beastie Boys.

Ganyang Internet & Mitos Anti-SOPA

Diterjemahkan dan disadur dari editorial Danny Goldberg, "Kill the Internet—and Other Anti-SOPA Myths", di The Nation, majalah mingguan tertua Amerika Serikat, pada 24 Januari 2012 | Hak cipta terjemahan Indonesia © 2013 Tiga Idiot

Rencana Undang-Undang Penghentian Pembajakan Online (SOPA) dari Majelis Rendah dan Rencana Undang-Undang Perlindungan Hak Milik Intelektual (PIPA) dari Senat ditangguhkan pekan lalu segera sesudah protes-protes oleh puluhan situs web dan para penggunanya, disamping paduan suara kecaman dari tokoh-tokoh yang paling progresif, termasuk Michael Moore, Cenk Uygur, Keith Olbermann, Alternet, Daily Kos, MoveOn dan banyak orang yang terkait dengan Occupy Wall Street. Dengan mempertimbangkan gairah protes-protes anti-SOPA/PIPA, pengamat sambil-lalu mungkin mengira bahwa para pembela rancangan undang-undang anti-pembajakan itu ada di perkumpulan moral yang sama sebagaimana para penyiksa di [penjara] Abu Ghraib.

Saya yakin, para legislator yang menyusun rancangan undang-undang yang bernasib malang tersebut dan para pelobi industri film yang mendukung mereka itu kurang dapat dibanggakan. Selaku seseorang yang mencari nafkah di bisnis musik yang mewakili para artis yang terluka oleh pembajakan, saya frustasi oleh gagalnya para penganjur rancangan undang-undang tersebut untuk menjelaskan penalaran mereka dengan bahasa yang dapat saya pahami. Ini mungkin karena rancangan undang-undang itu sendiri sangat cacat, tetapi juga mencerminkan delusi bahwa persoalan ini bisa dibereskan di koridor-koridor Washington tanpa debat publik. (Prasangka ini berdasarkan pernyataan Chris Dodd, CEO dan Ketua MPAA, yang dengan gusar mengancam bahwa menyeberangnya pemerintahan Obama ke pihak anti-SOPA/PIPA akan membahayakan kontribusi Hollywood kepada Partai Demokrat.)

Namun sebelum kita merayakan kemenangan "populis" ini, selayaknya diingat bahwa kalahnya SOPA dan PIPA itu juga merupakan menangnya industri teknologi adidaya, yang hampir selalu menundukkan bisnis-bisnis kreatif yang jauh lebih kecil di sidang legislatif. (Google saja menghasilkan lebih dari 37 milyar dolar pada tahun 2011, lebih dari dua kali pendapatan semua perusahaan rekaman, gabungan yang besar dan yang kecil.)

Perlu direnungkan pula panduan moral Kim Dotcom-nya Megaupload.com, yang ditahan di Selandia Baru pekan lalu di kediaman megahnya seluas 25 ribu kaki persegi yang dikelilingi oleh armada [mobil mewah] Mercedes dan Ferrari, yang semuanya diduga-keras berkat penjualan isi [internet] yang dicuri dari para artis (dan perusahaan hiburan juga) di seluruh penjuru dunia.

gambar kediaman megah Kim Dotcom di Selandia Baru

Ketika menyoroti kekayaan tersangka pembajak itu, Jon Taplin selaku produser film dan pengarang menulis di blognya, "Sekumpulan musisi yang bekerja dengan saya pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang membuat rekaman-rekaman menakjubkan yang masih ada di iPod, telah melihat terpotongnya royalti mereka sampai 80 persen."

Satu contoh dari retorika anti-SOPA yang melampaui batas adalah kecenderungan sebagian orang untuk mencari-cari motif-motif jahat bagi para penyokong SOPA. Pada pertunjukan The Young Turks-nya yang biasanya cemerlang, Uygur mengatakan bahwa para penyokong SOPA "berupaya memonopoli MPAA dan hendak mengganyang pesaing mereka di internet." Ini tidak benar. Mereka ingin mengganyang pihak-pihak yang mencuri karya mereka dan mengeruk uang darinya, baik secara langsung maupun tak langsung. Sungguh ada perbedaan.

Pada sebuah pidato anti-SOPA yang ditonton secara luas di Ted.com, filsuf maya Clay Shirky pun menyebut motif-motif gelap studio-studio. Katanya, sasaran-sasaran yang dilaporkan ke polisi bukanlah Google dan Yahoo!, melainkan "kita". Ini akurat hanya jika yang dia maksud dengan "kita" itu ialah orang-orang yang secara tidak legal menyaksikan [film] 3 Idiots dari [situs-situs] seperti Megaupload. Namun kalau yang dia maksud ialah seorang teman yang berbagi parodi Tiga Idiot di YouTube, maka tuduhan tersebut absurd.

Seruan Shirky bermula dengan sepotong anekdot yang pedas mengenai sebuah toko roti yang tidak lagi mengizinkan anak-anak untuk meletakkan gambar mereka sendiri yang berupa lukisan karakter-karakter seperti Mickey Mouse lantaran khawatir akan tuntutan hukum atas pelanggaran hak cipta. Contoh-contoh semacam ini, atau pun tentang risiko teoretis orangtua yang bisa dituntut melanggar hak cipta lantaran menyuruh anak-anak menyanyikan "Happy Birthday", bersifat menghasut. Persoalan dasarnya ialah skala. Ada perbedaan moral yang mencolok antara meminjami seorang kawan sebuah buku dan menayangkan isi buku-buku demi keuntungan komersial tanpa izin--dan orang-orang dan para legislator seharusnya memperhitungkan perbedaan semacam itu.

Para penampar SOPA dan PIPA itu juga kurang mantap dengan kata "sensor". Bagi saya, kata ini seharusnya diberlakukan bagi pemerintah yang membatasi ide-ide--seperti rezim Soeharto yang mengganyang siapa pun warga negara Indonesia yang menggugat korupsi, kolusi, dan nepotisme Orde Baru. Penindasan semacam ini kini lazim di China; hampir semua komputer dan telepon selulernya dibuat oleh buruh yang tertindas. Sensor nyata itu cukup mengerikan, sehingga mestinya ada kata lain bagi hukum yang berupaya mencegah agar situs-situs web tidak secara ilegal menayangkan film-film terbaru atau mengeruk uang haram dari para pemirsa yang terpikat pada transaksi semacam ini.

Seorang asisten Shirky menulis di halaman komentar tayangan tersebut, "Kita di sini berbicara tentang isi *digital*. Ketika saya menyalin informasi digital, tak seorang pun kehilangan apa pun. Para pencipta isinya tidak kehilangan keuntungan, karena saya tidak mengambil apa pun yang bersifat fisik dari mereka. Menyalin informasi digital tidak berbiaya sama sekali. Menyalin sesuatu yang bersifat digital bukanlah pencurian." Hmmm... bagaimana dengan biaya menciptakan isi yang layak disalin?

Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Levine di bukunya, Free Ride, membiarkan terjadinya pembajakan itu berarti memandulkan budaya karena tidak ada infrastruktur yang dapat membudidayakan artis-artis masa depan. Orang-orang yang membiarkan terjadinya pembajakan itu menekankan perlunya insentif untuk investasi di perusahaan-perusahaan teknologi. Namun mungkin model-model bisnis yang bergantung pada penggunaan secara gratis materi-materi yang dilindungi oleh hak cipta itu tidak akan mendorong investasi sebagai prioritas. iTunes membayar para artis, perusahaan rekaman, dan penulis lagu dan melakukannya dengan baik-baik saja. Sementara itu, degradasi nilai hak milik intelektual, di tempat lain secara online, telah menyebabkan berkurangnya secara drastis investasi di bisnis-bisnis yang mendanai penciptaan jurnalisme, literatur, musik, dan film.

Selama bertahun-tahun, telah ada filsuf-filsuf maya yang menyatakan bahwa pendapatan dari iklan akan menggantikan pendapatan dari hak cipta dan orang-orang di "media lama" hanya perlu mengikuti zaman. Ini tidak benar sama sekali.

Sebagian orang berpendapat bahwa hukum-hukum baru tidak diperlukan karena iTunes dan Amazon bertahan hidup, model asli ala Napster dibasmi secara legal, dan Kim Dotcom ditahan. Status quo mungkin terjadi begitu saja, tetapi itu tidak menjadikannya benar atau pun tak terelakkan. Manusia telah menciptakan masalah pembajakan dan meskipun masyarakat tidak bisa sepenuhnya melenyapkannya, sebagaimana segala jenis kejahatan lainnya, kita dapat memutuskan apakah hendak berupaya serius ataukah tidak.

Dapat dikatakan, ini merupakan pertarungan antara Godzilla dan King Kong. Para konsumen mungkin menyukai Godzilla karena mereka tidak menginginkan interupsi apa pun dalam penggunaan perangkat gadget mereka sepenuhnya. Namun saya lebih menyukai King Kong karena saya tidak pernah melihat perusahaan internet memberi kemajuan kepada para penulis, musisi, atau pun pembuat film yang memungkinkan mereka untuk berkonsentrasi pada kreativitas. Marilah kita realistis--kita seharusnya melihat semua perusahaan ini dengan mata curiga dan mempertanyakan inti pembicaraan mereka sekurang-kurangnya sebagaimana kita mencermati para politisi secara ketat. Yang baik bagi Google dan Facebook tidak selalu menjadi yang terbaik bagi 99 persen media internet. (Dan tentu saja Microsoft, Apple, dkk. sangat agresif ketika melindungi hak milik intelektual mereka.)

Saya berharap bahwa dalam pekan-pekan mendatang, sebagian dari kaum progresif yang anti-SOPA/PIPA itu akan merenungkan isi sebagian Kool-Aid yang baru-baru ini disajikan dan turut mengayunkan pendulum berbalik ke arah pemeliharaan hak milik intelektual. Kalau tidak, kita akan terlibat dalam pemercepatan kecenderungan dalam dasawarsa ini, suatu era ketika mereka yang menulis kode [komputer] mendapat penghargaan berlimpah, sedangkan mereka yang menulis musik, puisi, drama, dan jurnalisme yang dikode itu harus membanting tulang setiap hari.***

1 komentar: