Kehidupan Ayah Seorang Balita Cacat

gambar penderita sindrom Down

Apa yang ditawarkan oleh kisah nyata ini?

Aku malah ingat kata-kata filosofis dari Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations: "'Melihat-sebagai' itu bukanlah bagian dari pencerapan. Dan lantaran alasan ini, itu seperti melihat, dan kemudian lagi tidak seperti."

Anda di sini: Kuliah 3 Idiot » Ilmu Pengetahuan Umum » Panduan Menulis untuk Belajar, Berbagi, Beraksi » Menulis Retoris: Pahami & Tanggapi Situasi » Kehidupan Ayah Seorang Balita Cacat

Profesor bahasa Inggris, Michael Bérubé, menulis banyak hal mengenai materi akademik: kurikulum, beban pengajaran, manajemen ruang kuliah, jabatan profesor, dan studi budaya. Namun dengan lahirnya putra keduanya, James (Jamie), Bérubé mengadu untung ke jenis penulisan lain, dengan menulis yang ditujukan ke khalayak yang lebih luas. [Terjemahan] kutipan panjang berikut ini berasal dari bagian Pendahuluan buku karyanya, Life as We Know It: A Father, a Family, and an Exceptional Child, catatan harian tentang pengalaman-pengalaman keluarganya bersama dengan Jamie, yang menderita sindrom Down.

Kehidupan sebagaimana Kita Mengetahuinya (oleh Michael Bérubé)

Diterjemahkan dari buku kuliah Cheryl Glenn, The Harbrace Guide to Writing, Concise, 2nd Edition (Wadsworth: 2012), Part 1, "Entering the Conversation: The Rhetorical Situation", hlm. 25-27 | Hak cipta terjemahan Indonesia © 2014 Tiga Idiot

Anakku Jamie gemar menyusun daftar: makanan, warna, binatang, bilangan, huruf, negara bagian, teman kelas, bagian tubuh, hari dalam seminggu, kendaraan, tokoh yang tinggal di Sesama Street, dan nama orang-orang yang mencintainya. Pada musim panas yang lalu, aku berharap cintanya pada daftar-daftar itu--dan kemampuannya untuk menyusun hal-hal menjadi daftar-daftar--takkan sia-sia selama masa "liburan". Itu masa yang sulit bagi siapa pun, membiarkan seorang balita berumur tiga-tahun penderita sindrom Down: tiga jam bermobil ke Chicago, terbang ke LaGuardia pada jam sibuk, naik taksi ke Grand Central, kereta api ke Connecticut--dan kemudian perjalanan-perjalanan yang lebih pendek ke New York, Boston, dan Old Orchard Beach, Maine.

Bahkan, penyelesaian yang pertama dari tujuan misi ini--tiba dengan aman di O'Hare--memerlukan ketelitian dan kerja tim yang tidak selalu aku geluti dengan keluargaku. Aku mengantar Janet dan Nick (9 tahun) ke terminal dengan membawa bagasi, lalu aku membawa Jamie ke tempat penitipan mobil ketika mereka check in, dan kemudian menenangkan Jamie di sepanjang jalan kembali ke terminal itu via bus dan kereta ulang-alik. Kami bernyanyi tentang sopir bus itu, dan kami menghitung semua langkah eskalator dan perhentian kereta. Ketika akhirnya kami sampai ke pesawat kami, aku katakan kepada Jamie, Lihat, ada Mama dan Nick di gerbang itu! Mereka berteriak bahwa kita akan kehilangan tempat duduk kita! Mereka ingin tahu mengapa kita butuh empatpuluh-lima menit untuk memarkir mobil!

Namun, semuanya berjalan lancar sejak saat itu. Pada akhirnya, kurasa bisa kaukatakan, Jamie menikmati liburannya seperti halnya balita mana pun yang terguncang naik-turun New England. Ia seorang pengelana musiman. Ia membanting tulang dan memeras keringat di garis-garis pantai, di pertemuan-pertemuan keluarga, dan di pizza New Haven. Dan dengan baik, ia kenal wajah-wajah dan nama-nama.

Lalu lagi, saat kami tahu telah menjelang akhir pelancongan singkat di Maine, ia kurang peduli akan taman-taman hiburan. Bukannya Jamie tahu juga, di usianya yang baru tiga tahun. Namun rupanya, salah satu dari dayatarik Old Orchard Beach, bagi istriku dan saudara-saudara kandungnya, adalah gang-gang beratap di depan pantai dan taman hiburan di kota, yang mereka asosiasikan dengan masa kanak-kanak mereka sendiri. Maksudnya, perjalanan bermanja-ria, dengan coaster yang ukurannya pas bagi Nick--menggairahkan, agak mengerikan, tetapi tanpa jungkir-balik, lingkaran api, atau pun gaya gravitasi yang menghentak. Kami berjalan-jalan di antara mobil benturan, kembang gula, permainan keterampilan untung-untungan. Kami pun berpapasan dengan rombongan turis Kanada-Perancis: barangkali inilah untuk pertama kalinya dua bocah kecil kami melihat lebih dari satu keluarga Bérubé di satu tempat.

Akan tetapi, James tidak menginginkan apa pun dari segala tunggangan itu. Kendati ia suka berpura-pura mengemudi dan pernah di mobil benturan sebelumnya, ia menangis sambil menjerit sekeras-kerasnya sebelum tunggangan itu mulai melaju. Walhasil, operator mobil-mobil benturan itu membiarkan dia keluar dari mobil dan mengembalikan uang dua tiketnya.

Jamie akhirnya diam tenang di dekat tunggangan kereta yang dirancang untuk anak balita, yang dengan dua tiket saja, kereta itu membawa para penumpangnya mengelilingi lingkaran oval dan melintasi jembatan empat kali. Aku amati, ternyata cukup cepat bagi Jani untuk tidak ingin menunggangi tunggangan itu lagi. Ia hanya ingin berdiri di batas pinggirnya, memegang sekatnya dengan kedua tangannya dan menghitung mobil-mobil--satu, dua, tiga, empat, lima, enam--ketika mereka melintas. Kadang-kadang, ketika kereta itu melewati jembatan, James menyela dengan lompatan yang kecil sekali, seraya mengucap, "Naik! Naik! Naik!" Namun sebagian besarnya, ia puas dengan hanya bergantung pada papan-papan metal di sekat tersebut, menyeringai dan menghitung. Lantas, tatkala kereta itu berhenti, ia menarik lengan bajuku seraya berkata, "Lagi, lagi."

Itu berlangsung selama sekitar setengah jam, melampaui titik waktu ketika aku yakin bisa berbagi antusiasme Jamie untuk menelusuri gerak maju kereta tersebut. Hampir saja semangatku mulai tenggelam dengan cara yang seingatku tak pernah kurasakan sebelumnya. Kadang-kadang akan terjadi pada Jane atau pada diriku bahwa Jamie akan selalu "cacat", bahwa masa remaja dan masa dewasanya tentu akan lebih sulit secara emosional--bagi dia dan bagi kami--daripada masa balitanya, bahwa kami takkan pernah tidak mengkhawatirkan masa depannya, kualitas hidupnya, apakah cukup baik bagi dia. Namun biasanya saat-saat seperti itu terjadi dalam suasana yang relatif nyaman, tatkala Janet dan aku berbaring di ranjang pada malam hari dan merasa penasaran apa yang akan terjadi pada kami semua.

gambar penderita sindrom Down

Alih-alih, ketika aku bersama dengan Jamie, aku hampir selalu disibukkan oleh pemberian perhatian tentang kebutuhan masa kininya, bukan oleh kekhawatiran mengenai masa depannya. Sewaktu ia meminta mendengar lagu Beatles karena ia menyukai kover Little Richard mereka, "Long Tall Sally", aku pun memainkan lagu itu dan menyanyikannya. Aku mengawasi dia menari dengan ceria. Aku sendiri tak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan ekstra seperti apakah ia akan bisa membedakan antara Beatles di era awal dan Beatles di era akhir, antara lagu Paul dan lagu John, antara lagu Beatles yang asli dan lagu Beatles yang dinyanyikan oleh orang lain. Pertanyaan semacam itu kini sangat penting bagi Nick dalam menikmati Beatles, tetapi itu 'kan Nick. Jamie itu sui generis sepenuhnya, dan selama aku bersama dengan dia, aku tak bisa membayangkan dia sebagai siapa pun selain Jamie itu sendiri.

Aku pernah mencoba. Hampir sebagai bentuk latihan emosi, kadang-kadang aku mencoba melangkah mundur dan melihat dia sebagaimana orang-orang lain melihatnya, sebagai suatu kategori, satu biji pada daftar panjang subkelompok manusia. Inilah anak yang menderita sindrom Down, kataku kepada diri sendiri. Inilah anak yang menderita cacat perkembangan. Tapi, itu tak pernah berhasil: Jamie tetaplah Jamie bagiku. Aku pernah mencoba membayangkan dia dipandang sebagaimana ia akan dipandang di era-era lain: Ini anak dungu. Dan bahkan, Ini anak cacat mental. Ini bisa menjadi kejanggalan kognitif yang tak tertahankan. Aku dapat membayangkan bahwa orang-orang mungkin memikirkan hal-hal semacam itu, tetapi aku tak bisa membayangkan bagaimana mungkin mereka memikirkannya dengan cara yang mencegah mereka untuk melihat Jamie sebagai Jamie.

Aku mencoba mengingat bagaimana aku semasa kanak-kanak melihat anak-anak semacam itu, tetapi di sini aku bersalah tidak menyimpulkan apa-apa: Aku sama sekali tidak ingat melihat mereka. Sangat mungkin, ini berarti bahwa aku tak pernah sungguh-sungguh melihat mereka sebagai anak-anak. Aku malah ingat kata-kata filosofis dari Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations: "'Melihat-sebagai' itu bukanlah bagian dari pencerapan. Dan lantaran alasan ini, itu seperti melihat, dan kemudian lagi tidak seperti." Seringkali kupikir, membaca filsafat Wittgenstein merupakan sesuatu seperti menyimak seorang paman yang cemerlang dan cerewet yang gemar akan omong kosong yang menjengkelkan. Namun dalam hal ini, aku tahu pasti apa yang ia maksudkan.

Analisis Situasi Retoris

  1. Bérubé mungkin menanggapi peluang retoris apa?
  2. Siapa khalayak yang dituju oleh buku Bérubé itu?
  3. Peluang retoris apa yang ditawarkan oleh Bérubé kepada khalayaknya? Adakah cara-cara tertentu yang memungkinkan khalayak retorisnya menjadi terbuka untuk mempengaruhi perubahan atau mempengaruhi orang lain yang bisa membuat perubahan?
  4. Kalau Anda menulis esai tentang orang yang luar biasa, Anda akan memilih menulis tentang siapa? Akan terisi dari siapa sajakah khalayak Anda? Peluang retoris apa yang bisa Anda ciptakan atau Anda cerap dalam rangka menyusun tanggapan yang tepat? Apa yang akan menjadi tujuan Anda? Tulislah secara bebas selama sepuluh menit, lalu siaplah untuk berbagi dengan teman kuliah Anda.

1 komentar: